Selasa, 10 Februari 2015


Dengan meminjam istilah Islam, ada persoalan yang "qath'i" dari demokrasi, dan ada pula yang "zhanni". Yang qath'i, tentu sesuatu itu bersifat pasti dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Sedangkan yang zhanni, persoalan itu masih samar, belum pasti, dan masih diperselisihkan.

Yang zhanni dari demokrasi, antara lain konsep menghargai perbedaan pendapat, boleh unjuk rasa di depan publik, melibatkan rakyat dalam memilih anggota perwakilan rakyat, dan sebagainya. Ini semua dinilai konsep yang zhanni dari demokrasi, sebab konsep seperti ini sebenarnya masih terlalu umum, belum spesifik. Karena jika kita bicara soal menghargai perbedaan pendapat, Islam pun mengakui kebebasan berpendapat, tetapi dalam frame syariat Islam. Demikian pula kebolehan unjuk rasa dalam mengoreksi penguasa atau membuat masiroh (longmarch) untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Ini ada dalam Islam, hanya saja semua dibatasi oleh syariat Islam. Bahkan soal pemilu pun, Islam juga mengatur. Yaitu terkait dengan akad-akad wakalah. Nah, di sinilah orang mulai berbeda pandangan. Apakah hal tersebut di atas termasuk demokrasi, ataukah bersifat netral (positif negatifnya tergantung indikasinya).

Namun yang qath'i dari demokrasi, semua orang (baik aktivis Islam maupun aktivis sekuler, termasuk orang kafir) menyepakati tentang hal ini.

1) Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah swt. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya. Siapa yang bisa mengingkari akan hal ini? Ini kaitannya dengan agama Islam, sebab yang dikaitkan adalah nama Allah swt. Jadi, tidak ada urusan dengan agama selain Islam. Masalah mereka mau mengklaim kalau di Kristen atau Buddha ada demokrasinya, itu terserah mereka. Namun yang jelas, secara genealogis, demokrasi tidak lahir dari akidah Islam. Sebab, lahirnya demokrasi juga tidak berasal dari tanah Arab atau setelah Islam datang.

2) Demokrasi (modern) lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Ini bisa dirunut dari sejarah demokrasi modern yang lahirnya sejak Abad Pertengahan. Siapa yang bisa mengingkari fakta sejarah ini? Jika mau jujur, seluruh aktivis, baik Islam maupun sekuler, akan setuju dengan hal ini, yaitu bahwa lahirnya demokrasi adalah karena memisahkan peran agama dengan dunia politik pemerintahan.

3) Demokrasi berlandaskan dua ide, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Ini juga, siapa yang bisa membantah kenyataan ini? Tidak ada. Seluruh aktivis (baik Islam maupun sekuler, bahkan orang kafir pun) menyepakatinya.

4) Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini juga, sama. Ini qath'i. Siapa yang bisa membantah bahwa demokrasi itu bukanlah pemerintahan mayoritas rakyat?

5) Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Ini juga, siapa yang bisa membatahnya? Kebenaran dari ide kebebasan ini diakui oleh demokrasi. Jadi, pemahaman tentang konsep kebebasan ini adalah pandangan yang qath'i.

Nah, jadi kalau mau jujur dan mau membedakan antara yang mutlak dengan yang masih bisa diperselisihkan, tentunya orang akan lebih cenderung untuk menghukumi demokrasi berdasarkan hal yang qath'i darinya. [Agus Trisa]

Rabu, 04 Februari 2015

Berdakwah membutuhkan jamaah. Allah SWT. pun amat cinta pada mereka yang berjuang bersama layaknya bangunan yang tersusun rapih.

Dengan berjamaah pula kita bisa terlindungi dari lingkup pergaulan yang dapat merusak perasaan serta pemikiran. Sendirian dalam dakwah sungguh amal yang berat. Saat kaki keliru melangkah nyaris tak ada yang membelokkan kita ke jalan yang lurus. Syetan amat mudah menjerat orang yang terpisah dari jamaah. Nabi saw. bersabda:

عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Wajib atas kalian berjamaah, karena serigala memakan (hewan gembala) yang terpisah. (HR. Ahmad).

Tapi berjamaah memang membutuhkan spirit ukhuwah yang kuat. Kita harus bisa menumbuhkan sikap saling pengertian, pandai membawa diri dan menahan diri. Bila tidak, maka kebersamaan kita dalam jamaah hanya tinggal menunggu hari saja.

Tulisan berikut sebagai bahan muhasabah diri, karena seringkali terjadi orang memutuskan keluar dari dakwah berjamaah bukan karena kesalahan pemikiran dan metode perjuangan yang diemban kawan-kawan seperjuangan, melainkan karena sikap diri yang keliru saat hidup dalam amal jama’iy.

Ironinya, sebagian orang yang keluar itu ada yang malah tidak melakukan dakwah sama sekali, melainkan jika sempat saja. Bukan sebagai poros kehidupan. Ada juga yang demikian futur hingga akhirnya jatuh dalam kemungkaran, melalaikan kewajiban syariat dan melanggar batas-batasnya.

Sekurangnya ada lima perkara yang umumnya dilakukan seseorang hingga akhirnya ia merasa jengah hidup berjamaah, lalu meninggalkan kawan-kawan seperjuangannya.

1. Hilang Sikap Pemaaf.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia tanpa kesalahan dan kekhilafan. Kawan-kawan Anda di dalam jamaah bukan malaikat. Mereka bisa salah, tapi juga bisa begitu baik pada Anda. Dengan terus menerus komplain kekeliruan, kesalahan atau keburukan seorang atau beberapa orang kawan Anda dalam jamaah, tidak akan membuat suasana jamaah – dan yang paling penting suasana hati Anda – akan menjadi lebih baik.

Kewajiban akhi/uhkti saat melihat perilaku atau perkataan negatif dari beberapa orang dalam jamaah adalah beramar maruf nahi mungkar. Ingatkan, ingatkan dan ingatkan secara personal, lalu setelah itu serahkanlah urusan itu kepada Allah. Bila apa yang mereka kerjakan kemaksiatan seperti makan riba, mendekati zina, dsb. Andai mereka bergeming setelah diberikan peringatan, maka laporkan kepada pihak yang berwenang. Jangan terus menerus mengkomplain tanpa mengambil solusi tepat.

Tapi percayalah, akan selalu ada dalam jamaah itu rekan yang tetap baik — mungkin jumlahnya lebih banyak –, yang dengan melihat kebaikannya akan membuat akhi/ukhti kembali rindu untuk bisa hidup berjamaah.

2. Tak Mau Mengalah.
Jamaah bukanlah arena kompetisi, tapi justru tempat mengasah keikhlasan. Termasuk ikhlas dalam menerima pendapat kawan kita. Apalagi bila keputusan sudah diambil oleh jamaah, maka harus diterima dengan penuh kesadaran.